Tuesday, February 24, 2009

MALAIKAT JUGA TAHU

Laki-laki dan perempuan itu terbaring di atas rumput, menatap bintang yang bersembulan dari carikan awan kelabu. Saat yang paling tepat untuk bermalam minggu di pekarangan.

Perempuan itu hafal rutinitas ketat yang berlaku di sana. Laki-laki di sebelahnya memangkas rumput setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Mencuci baju putih setiap Senin, baju berwarna gelap hari Rabu, baju berwarna sedang hari Jumat. Menjerang air panas setiap hari pukul enam pagi untuk semua penghuni rumah. Menghitung koleksi sabun mandinya yang bermerk sama dan berjumlah genap seratus, setiap pagi dan sore.

Banyak orang yang bertanya-tanya tentang persahabatan mereka berdua. Orang-orang penasaran tentang topik obrolan mereka dan apa kegiatan perempuan itu selama berjam-jam di sana. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa ibu dari laki-laki itu, yang mereka sebut Bunda, sangat pandai memasak. Rumah Bunda yang besar dan memiliki banyak kamar adalah rumah kos paling legendaris. Bahkan ada ikatan alumni tak resmi dengan anggota ratusan, dipersatukan oleh kegilaan mereka pada masakan Bunda. Setiap Lebaran, Bunda memasak layaknya katering pernikahan. Terlalu banyak mulut yang harus diberi makan. Namun jika cuma akses tak terbatas atas masakan Bunda yang jadi alasan persahabatan mereka berdua, orang-orang tidak percaya.

Laki-laki itu, yang biasa mereka panggil Abang, adalah makhluk paling dihindari di rumah Bunda, nomor dua sesudah blasteran Doberman yang galaknya di luar akal tapi untungnya sekarang sudah ompong dan buta. Abang tidak galak, tidak menggigit, tapi orang-orang sering dibuat habis akal jika berdekatan dengannya. Setiap pagi dia membangunkan seisi rumah itu dengan ketukannya di pintu dan secerek air panas untuk mandi. Dia menjemput baju-baju kotor dan bisa ngadat kalau disetorkan warna yang tidak sesuai dengan jadwal mencucinya. Sekalipun sanggup, Bunda tidak bisa memasang pemanas air bertenaga listrik atau sel surya. Anaknya harus menjerang air. Secerek air panas dan mencuci baju sewarna adalah masalah eksistensial bagi Abang. Mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar Bumi agar berhenti mengedari matahari.

Bukannya tidak mungkin berkomunikasi wajar dengan Abang, hanya saja perlu kesabaran tinggi yang berbanding terbalik dengan ekspektasi. Dalam tubuh pria 38 tahun itu bersemayam mental anak 4 tahun, demikian menurut para ahli jiwa yang didatangi Bunda. Sekalipun Abang pandai menghafal dan bermain angka, ia tak bisa mengobrolkan makna. Abang gemar mempreteli teve, radio, bahkan mobil, lalu merakitnya lagi lebih baik dari semula. Dia hafal tahun, hari, jam, bahkan menit dari banyak peristiwa. Dia menangkap nada dan memainkannya persis sama di atas piano, bahkan lebih sempurna. Namun dia tidak memahami mengapa orang-orang harus pergi bekerja dan mengapa mereka bercita-cita.

Perempuan di pekarangan itu tahu sesuatu yang orang lain tidak. Abang adalah pendengar yang luar biasa. Perempuan itu bisa bebas bercerita masalah percintaannya yang berjubel dan selalu gagal. Tidak seperti kebanyakan orang, Abang tidak berusaha memberikan solusi. Abang menimpali keluh kesahnya dengan menyebutkan daftar album Genesis dan tahun berapa saja terjadi pergantian anggota. Gerutuannya pada kumpulan laki-laki brengsek yang telah menghancurkan hatinya dibalas dengan gumaman simfoni Bach dan tangan yang bergerak-gerak memegang ranting kayu bak seorang konduktor. Abang tidak bisa beradu mata lebih dari lima detik, tapi sedetik pun Abang tidak pernah pergi dari sisinya. Ia pun menyadari sesuatu yang orang lain tidak. Laki-laki di sampingnya itu bisa jadi sahabat yang luar biasa.

Barangkali segalanya tetap sama jika Bunda tidak menemukan surat-surat yang ditulis Abang. Untuk pertama kalinya, anak itu menuliskan sesuatu di luar sejarah grup musik art rock atau komposisi musik klasik. Ia menuliskan surat cinta—kumpulan kalimat tak tertata yang bercampur dengan menu makanan Dobi, blasteran Doberman yang tinggal tunggu ajal. Tapi ibunya tahu itu adalah surat cinta.

Barangkali segalanya tetap sama jika adik Abang, anak bungsu Bunda, tidak kembali dari merantau panjang di luar negeri. Sang adik, kata orang-orang, adalah hadiah dari Tuhan untuk ketabahan Bunda yang cepat menjanda, disusul anak pertamanya, seorang gadis yang bahkan tak sempat lulus SD, meninggal karena penyakit langka dan tak ada obatnya, lalu anak keduanya, Abang, mengidap autis pada saat dunia kedokteran masih awam soal autisme sehingga tak pernah tertangani dengan baik. Anak bungsunya, yang juga laki-laki, menurut orang-orang adalah figur sempurna. Ia pintar, normal, dan fisiknya menarik. Ia hanya tak pernah di rumah karena sedari remaja meninggalkan Indonesia demi bersekolah.

Barangkali sang adik tetap menjadi figur yang sempurna jika saja ia tidak memacari perempuan satu-satunya yang dikirimi surat cinta oleh kakaknya. Bunda tahu, secerek air panas dan cucian berwarna seragam sudah resmi bergandengan dengan rutinitas lain: perempuan itu. Dan bagi Abang, rutinitas bukan sekadar hobi, melainkan eksistensi.

Pertama kali Bunda mengetahui si bungsu dan perempuan itu berpacaran, Bunda langsung mengadakan pertemuan empat mata. Ia memilih perempuan itu untuk diajak bicara pertama karena dipikirnya akan lebih mudah.
'Bagi kamu pasti ini terdengar aneh. Mereka dua-duanya anak Bunda. Tapi kalau ditanya, siapa yang bisa mencintai kamu paling tulus, Bunda akan menjagokan Abang.’

Perempuan itu terenyak. Apa-apaan ini? pikirnya gusar. Jangan pernah bermimpi dia akan memilih manusia satu itu untuk dijadikan pacar. Jelas tidak mungkin.
Bunda melanjutkan dengan suara tertahan, 'Dia mencintai bukan cuma dengan hati. Tapi seluruh jiwanya. Bukan basa-basi surat cinta, bukan cuma rayuan gombal, tapi fakta. Adiknya bisa cinta sama kamu, tapi kalau kalian putus, dia dengan gampang cari lagi. Tapi Abang tidak mungkin cari yang lain. Dia cinta sama kamu tanpa pilihan. Seumur hidupnya.’
'Tapi… Bunda bukan malaikat yang bisa baca pikiran orang. Bunda tidak bisa bilang siapa yang lebih sayang sama saya. Tidak akan ada yang pernah tahu.’

Saat itu mata Bunda berkaca-kaca. Begitu juga dengan matanya. Tak lama mereka menangis berdua. Namun ia tahu perbedaannya dengan Bunda. Bagi perempuan itu, cinta tanpa pilihan adalah penjara. Ia ingin dirinya dipilih dari sekian banyak pilihan. Bukan karena ia satu-satunya pilihan yang ada.

Masih sambil berbaring, dengan punggung tangannya perempuan itu mengusap-usap rumput. Lengannya bergerak lambat dan gemulai seolah menarikan tari perpisahan. Ini akan menjadi malam Minggu terakhirnya di pekarangan serapi lapangan golf. Semalam mereka bicara bertiga. Dia, Bunda, dan si bungsu.
'Dia tidak bodoh.’
'Bunda, saya tahu dia tidak bodoh.’
'Dia akan segera tahu kalian berpacaran.’
'Bunda, lebih baik dia tahu sekarang daripada nanti setelah kami menikah.’
Bunda melengakkan kepala dengan tatapan tak percaya. 'Bagi abangmu, apa bedanya sekarang dan nanti?’
'Kami tidak mungkin sembunyi-sembunyi seumur hidup!’ Anak laki-lakinya setengah berseru.
'Kalau perlu kalian harus sembunyi-sembunyi seumur hidup!’ balas Bunda lebih tegas.
'Ini tidak adil. Ini tidak masuk akal…’ protes anaknya lagi.
'Jangan bicara soal adil dan masuk akal. Aturan kamu, aturan kita, tidak berlaku bagi dia…’ desis Bunda, 'kamu tidak tinggal di rumah ini. Kamu tidak mengenalnya seperti Bunda.’

Satu hari, pernah ada anak kos yang jahil. Dia menyembunyikan satu dari seratus sabun koleksi Abang. Bunda sedang pergi ke pasar waktu itu. Abang mengacak-acak satu rumah, lalu pergi minggat demi mencari sebatang sabunnya yang hilang. Tiga mobil polisi menelusuri kota mencari jejaknya. Baru sore hari ia ditemukan di sebuah warung. Ada sabun yang persis sama dipajang di etalase dan Abang langsung menyerbu masuk untuk mengambil. Penjaga warung menelepon polisi karena tidak berani mengusir sendiri. Kejadian itu mengharuskan Abang diterapi selama beberapa bulan ke rumah sakit dan diberi obat-obat penenang. Bunda tahu betapa anaknya membenci rumah sakit dan obat-obatan itu hanya membuat otaknya rapuh. Tak ada yang memahami bahwa seratus sabun adalah syarat bagi anaknya untuk beroleh hidup yang wajar.

'Kamu harus tetap ke mari setiap malam minggu. Tidak bisa tidak,' kata Bunda pada perempuan itu. 'Dan selama kalian di rumah ini, kalian tidak boleh kelihatan seperti kekasih. Buat kalian mungkin tidak masuk akal. Tapi hanya dengan begitu abangmu bisa bertahan.’
Selepas berbicara dengan Bunda, mereka berbicara berdua. Mereka sepakat untuk selama-lamanya pergi dari kehidupan rumah itu. Tidak mungkin mereka terpenjara setiap minggu di sana. Mereka menolak menjadi bagian dari ritual menjerang air, cuci baju, dan seratus sabun.
Di pekarangan dengan tinggi rumput seragam, perempuan itu mengucapkan selamat tinggal di dalam hati. Persahabatan yang luar biasa ternyata mensyaratkan pengorbanan di luar batas kesanggupannya. Perempuan itu mengucap maaf berulang kali dalam hati.
Sejenak lagi, malam Minggu terakhir mereka usai.

Bunda menangisi setiap malam Minggu. Tidak pakai air mata karena ia tidak punya cukup waktu. Ia menangis cukup dalam hati.
Semua anak kos kini menyingkir jika malam Minggu tiba. Mereka tidak tahan mendengar suara lolongan, barang-barang yang diberantaki, dan seseorang yang hilir mudik gelisah mengucap satu nama seperti mantra. Menanyakan keberadaannya.
Kalau beruntung, Abang akhirnya kelelahan sendiri lalu tertidur di pangkuan ibunya. Kalau tidak, sang ibu terpaksa menutup hari anaknya dengan obat penenang.

Pada setiap penghujung malam Minggu, Bunda bersandar kelelahan dengan bulir-bulir besar peluh membasahi wajah, anaknya yang berbadan dua kali lebih besar tertidur memeluk kakinya erat-erat. Selain dengkuran dan napas anaknya yang memburu, tidak ada suara lain di rumah besar itu. Semua pergi. Dobi telah mati.

Bunda tak bisa dan tak merasa perlu mengutuk siapa-siapa. Mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia.

Perempuan muda itu benar. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.

Tidak perlu ada kompetisi di sini. Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.

"DIA"

Saat ini, saya begitu merindukan dia. Menutup hari dengan menulis perasaan rindu ini dalam sebuah kertas putih. Mencoba menenangkan diri dengan berucap, “Aku kangen kamu. Gimana kabar kamu disana?” Hmm, saya hanya bisa menulis dan sekali lagi menulis semua rasa rindu dan isi hati saya. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, sampai menjadi sebuah cerita. Hampir setiap hari, setiap malam, kini menjadi kebiasaan............ sebelum saya memejamkan mata dan menutup hari dengan doa.

Ketika dia tertawa, ketika dia menangis, ketika dia bicara, ketika dia menonton atau ketika dia membuat saya kesal dan pengen 'jitak' kepalanya ..... semua adalah kenangan yang selalu datang setiap saya membayangkan dia. Hanya Dia dan Saya. Dia yang selalu malu, ketika saya mencoba memperhatikan wajahnya dengan dalam dan lama. Mukanya merah ketika saya berhasil membuat dia malu dan kesal. Dia yang selalu membuat saya tertawa dan susah sekali untuk kesal, karena dia selalu bisa membuat hal-hal lucu yang menggelikan. Dia yang selalu siap menjadi pendengar yang baik. Wajahnya yang kelihatannya polos (aslinya jayus banget), sering memancing saya untuk memanggilnya “anak kecil” atau “adik ku”.

Dia. Manusia biasa yang membuat dunia kecil saya menjadi begitu besar. Dia yang mencoba untuk jujur secara total pada semua masa lalu, mimpi dan harapannya. Dia yang mencoba menyukai makanan favorit saya, Sate Padang. Padahal saya tahu dia tidak menyukainya. Tanpa saya minta untuk menyukainya, ternyata, dia jadi suka Sate Padang, bahkan sekarang jadi teman rebutan untuk mendapatkan satu tusuk daging. Dia yang mengajarkan saya untuk mengamati dan memperhatikan dunia di sekitar saya. Dia yang mengajarkan saya untuk tidak melupakan masa lalu. Dia yang selalu mau saya ajak taruhan “suitan”, padahal saya tahu dia ga tega menghukum saya, bila saya kalah.

Dia pernah bilang, “kamu harus kuat, jangan takut, yah” selalu saya ingat ketika saya sedih dan kesepian. Sekarang. Saat ini. Kemarin. Rindu itu adalah Kamu. Rindu adalah Dia. Dia adalah keheningan. Dia adalah karya yang selalu bisa kubagi apa adanya, bersisian, tanpa takut dan malu. Dia adalah motivator saya untuk selalu menulis dalam sebuah blogger, pembaca setia dan penilai tulisanku yang paling jujur, jadi saya bisa terus memperbaiki dan semangat menulis. Dia adalah tawa dan tangis ku. Dia adalah sebuah perjuangan tanpa henti ketika orang lain menilai dia adalah sebuah kesalahan atau dosa termanis???!!!! Tapi, saya tahu, saat ini dia pun sedang berjuang untuk dirinya sendiri... entah demi cinta?? demi keluarga?? atau demi dirinya sendiri??

Dia adalah cerita kamu dan saya. Kita Berdua. Saat kau dan aku saling bercermin, hanya HATI YANG BISA MENJAWABNYA???????!!!!...........

Monday, February 23, 2009

HIDUP DAN CINTA

Istriku,
Rasanya begitu banyak hal-hal berat yang kita hadapi akhir-akhir ini. Begitu sering kesadaran, kesabaran dan cinta kita diuji. Begitu banyak pihak yang mengkritik dan menghujat perjalanan kita, memporak-porandakan kesetiaan kita. Berat sekali. Saya tahu. Tapi saya bangga, sayang. Bangga sekali. Karena ketika hal berat dan duka mendera, ketika kita yang sewajarnya sebagai manusia merasa takut dan pergi menjauhi rasa sakit, kita justru malah berpelukan erat dan tidak mau lepas. Tak ada kata menjauh, tak ada kata jarak. Ya, kita sama-sama menyadari bahwa rasa sakit karena duka hanya akan menjadi lebih perih jika kita justru berlari menjauh meninggalkan satu sama lain. Alih-alih mampu menyelesaikannya sendiri, kita malah gagal dan semakin terpuruk. Masalah tidak akan pernah selesai bahkan tetap ada dan semakin berat......
(tulisan dari: Marcell Siahaan)
Tulisan isi hati dari seorang suami yang sungguh mengagumi istrinya. Ditengah banyak masalah yang berusaha memecah dan memisahkan hubungan mereka.... tetapi kekuatan cintanya mampu meleburkan satu per satu penghalang hubungan cinta itu...
Cintakah yang menyatukan mereka? Cintakah yang membuat mereka bisa bertahan di tengah banyak orang yang menilai salah pada cinta mereka?? Apakah cinta itu bisa bertahan selamanya? Sampai waktu menutup mata, sampai menua dan rambut memutih, sampai hidup ini berakhir?? Janji bersama sehidup semati. Semuanya karena cinta?
Lalu bagaimana tanpa cinta? Bisakah hidup ini dilewati dengan menyangkal hati yang mencintai dan dicintai?? Bisakah hidup ini dilewati hanya sebagai silih, sebagai pengorbanan untuk menyelamatkan status di masyarakat, keluarga maupun diri sendiri?
Kembali meresapi dan merenungi setiap keputusan dengan penuh tanggung jawab....

Pencarianku

Hasil

Powered By Blogger