Monday, May 18, 2009

Ketuhanan Yang Ma[s]a Esa[?]


Keyakinan pada Tuhan yang Esa adalah fondasi mendasar bagi bangsa kita. Saking elementalnya, dicantumkanlah prinsip tersebut sebagai sila pertama dari Pancasila. Buah-buah pengamalan yang ditumbuhkan dari sila tersebut antara lain adalah kerukunan umat beragama, tepa salira, toleransi, serta konsep-konsep cantik lainnya. Dalam percakapan sehari-hari kita dapat ‘membauinya’ pada kalimat-kalimat klasik seperti: “jalannya lain-lain tapi toh tujuannya satu” atau “cuma caranya saja yang beda-beda tapi Tuhannya satu”, dst. Namun, sama seringnya pula kita menemukan aneka kontradiksi yang menemani konsep-konsep cantik dan kalimat-kalimat bijak tadi.

Baru-baru ini saya diberi kesempatan untuk menonton pra-rilis satu film indie berjudul “Cin[T]a”. Sebuah film dengan premis dan tema yang menarik; bercerita tentang Tuhan, cinta, dan perbedaan. Di film itu kita menemui dilema yang banyak dialami orang-orang: hubungan cinta beda agama. Dilema yang akhirnya berujung pada pilihan: pilih pacar atau Tuhan?

Entah berapa banyak sudah hati manusia yang nelangsa akibat dilema klise itu; saat benang kusut itu mulai teraduk: mencintai pacar… tidak mau berpisah… tidak mau mengkhianati Tuhan… tapi kenapa harus ada cinta… bukannya cinta juga diciptakan Tuhan… tapi agama bilang tidak boleh menomorduakan Tuhan… tapi kan, katanya cara saja yang beda-beda tapi Tuhannya satu… dan benang itu terus mengusut. Belum lagi Tuhan jarang berdiri sendiri, Ia membawa institusi agama, orang tua, keluarga besar, adat istiadat, bahkan aturan pemerintah Indonesia yang melarang pernikahan beda agama.
Itu baru persoalan asmara. Ketuhanan Yang Maha Esa pun masih harus menempuh berbagai tantangan ketika bersinggungan dengan isu politik, kekuasaan, uang, dan fanatisme. Seringnya, dalam naungan payung konsep mulia tentang keesaan Tuhan, manusia tetap harus memilih untuk mempertahankan perbedaan. Tak jarang sampai berdarah-darah. Kontradiksi yang sempurna digambarkan oleh sebuah dialog dalam film “Cin[T]a”, ketika salah satu tokoh utamanya berkata: “Tuhan memang satu, tapi tetap saja Tuhanku yang paling benar.”

Jika kita benar-benar jujur, hampir semua dari kita sama seperti tokoh film tadi; oke, di mulut kita setuju Tuhan itu satu, tapi nyatanya selalu ada Tuhan yang paling benar. Jadi, sebetulnya, Tuhan mana yang kita bicarakan? Jangan-jangan, selama ini ada dua Tuhan; yang Esa dan Tidak Esa. Jangan-jangan, selama ini kita keseleo lidah, menggunakan terminologi “Tuhan” padahal yang kita maksud adalah “agama”. Atau, jangan-jangan, Tuhan memang tidak Esa. Keesaan hanyalah ilusi yang kita ciptakan sebagai obat penawar dari perbedaan yang terkadang begitu menyakitkan dan merepotkan jika bergesek. Intinya, dari mana kita tahu secara langsung dan absolut bahwa Tuhan itu benar-benar Esa? Kata orang? Kata pemuka agama? Kata kitab? Kata pemerintah?
Tuhan yang malang, pikir saya. Ia begitu terdistorsi dan terasing, meski begitu banyak orang mengaku telah mengenal-Nya, bahkan secara kolektif menggunakan keberadaan-Nya sebagai dasar bernegara. Tidak heran kata “toleransi” begitu populer dalam konsep keagamaan kita, karena dengan kontradiksi yang kita pegang tentang Tuhan, hanya sampai toleransilah kita mampu berjalan. Dan kembali saya ingat perkataan Romo Mangun, bahwa seharusnya kita berlandaskan “apresiasi” beragama, bukan “toleransi”. Toleransi berarti ‘silakan berbeda selama tidak mengganggu saya’. Artinya, toleransi punya batas. Toleransi punya syarat. Dan karena itu jugalah ia cocok dengan lidah kita yang bercabang, yang sepakat dengan keesaan Tuhan tapi siap membacok teman jika berani macam-macam dengan Tuhan-“ku”.
Saya jadi tergelitik untuk bertanya: tidakkah lebih baik—dalam arti: lebih rileks dan realistis—jika kita menerima kenyataan bahwa Tuhan belum tentu Esa? Mengapa kita harus memaksakan diri dengan keesaan Tuhan jika pengalaman spiritual kita pribadi belum membuktikannya? Untuk apa jadi munafik, jika membedakan Tuhan dan agama saja kita masih tersandung-sandung; membedakan isi dan bungkus saja masih tertukar-tukar? Daripada menjadikannya sebagai dalil tak tergoyahkan, teori yang mati, tidakkah lebih baik—dalam arti: lebih adil dan sahih—jika keesaan Tuhan dijadikan sebuah pengalaman yang hidup? Biarlah mereka, yang memang sudah lahir-batin-luar-dalam mengalami keesaan Tuhan, yang kemudian berkata bahwa Tuhan itu ternyata satu adanya. Bagi mereka yang belum mengalami, biarlah Tuhan tidak perlu esa. Biarkan saja Tuhan berbeda-beda. Biarlah masih ada Tuhan-“ku” dan Tuhan-“mu”. Termasuk, biarkan juga mereka yang mengalami tidak adanya Tuhan. Bahkan Tuhan tidak perlu dipaksakan ada, bukan?

Seorang guru spiritual terkenal, Osho, berkata: ada perbedaan besar antara percaya dan tahu. Percaya senantiasa dibarengi oleh asumsi dan pengharapan, sementara tahu senantiasa dibarengi oleh pengalaman. Kita tak perlu percaya bahwa matahari bersinar, kita TAHU bahwa ada matahari di langit yang menyinari Bumi terus-menerus. Kita mengalaminya secara langsung. Jika kita berani kritis: seberapa banyak pengalaman langsung kita tentang Tuhan hingga kita berani mengatakan bahwa Ia cuma SATU? Bahwa Ia sama dan seragam bagi semua orang, layaknya matahari bagi Bumi? Percayakah kita bahwa Tuhan itu esa atau tahukah kita?

Tahun 1999, untuk pertama kalinya saya memberanikan diri untuk mempertanyakan ulang semua yang saya percayai tentang Tuhan, termasuk sejauh mana saya telah menyalahgunakan konsep iman selama ini. Karena, tanpa mengecilkan arti kata “iman” yang didefinisikan sebagai 'percaya sebelum melihat', mudah sekali kita berlindung di balik keimanan untuk mengklaim berbagai hal yang tak kita alami langsung. Hal-hal yang sebenarnya cuma asumsi berkarat dan berkerak tapi kita anggap sebagai kebenaran mutlak. Dan baru saat itulah, saat saya berani melonggarkan cengkeraman saya atas konsep kebenaran, untuk pertama kalinya pula secara tulus saya melihat perbedaan dan keberagaman sebagai sebuah perayaan.

Beranikah kita meninjau iman kita, asumsi kita, kepercayaan kita, keyakinan kita—dan menerimanya sebagai sebuah bentuk keterbatasan dan ‘kemalasan’ kita untuk mengenal-Nya langsung. Sudah berapa lamakah kita berpangku tangan dan membiarkan orang lain atau sebuah institusi merumuskan kebenaran dan Tuhan bagi kita? Mereka yang juga belum tentu mengalaminya langsung, melainkan mewarisi pengetahuan secara turun-temurun?

Pengetahuan adalah sesuatu yang mati, kata Osho lagi. Hanya pengalamanlah yang hidup. Dan saya teringat pertemuan saya dengan seorang bhikku, bernama Bhante Wongsin, di Lembang tahun 2005. Pada akhir pembicaraan kami, beliau berkata: “Jangan percaya semua omongan saya. Anda harus membuktikannya sendiri.” Saya tersentak waktu itu, dan kalimat beliau terus membekas hingga kini. Jangan percaya. Buktikan sendiri.

Beranikah kita untuk mencantumkan tanda tanya di ujung semua yang kita yakini dan percayai? Dan mencantumkan tanda titik hanya jika kita telah mengalaminya langsung, membuktikannya sendiri; saat perjalanan kita dari mempercayai akhirnya tiba di mengetahui.

KARENA CINTA ADALAH RASA

Pagi yang berat, ketika saya bangun dengan badan dan hati yang kurang bersemangat mungkin karena hari Senin atau kelelahan yah??? Ketika TV dinyalakan, didepan saya langsung terpampang tulisan “Di dalam hidup yang tidak kekal ini, tidak ada yang sempurna. Yang sempurna hanyalah CINTA”.

Ternyata, mengingatkan sejarah artis Sophan Sofyan yang meninggal setahun lalu. Kesetiaannya kepada pasangan, patut diacungin jempol. Di dunia keartisan dan hiruk pikuk metropolitan yang bertabur godaan dan nafsu, tetapi pria itu menjadi pria yang tangguh sebagai seorang suami dan ayah.

Saya sendiri, mengagumi pria ini. Sejak kecil. Wajahnya yang tegas, tampan dengan istri yang cantik (Widyawati). Oh iya, saya juga mengagumi pasangan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen. Tidak ada yang harus selalu super. Tidak ada ego dan keras hati. Mungkin itu yang membuat mereka bisa selalu bersama. Ari Sihasale (besar dan tumbuh di Papua) & Nia Zulkarnaen (besar dan tumbuh di Jakarta, janda pula)... tetapi semuanya begitu indah. Bahkan mereka berdua semakin maju setelah bekerja sama membentuk Rumah Produksi 'ALENIA' (gabungan dari nama Ale sebutan Ari Sihasale dan Nia) dan film teranyar pertama “DENIAS”.

Tidak ada kamu dan aku! Tidak ada kalah dan menang! Tidak ada ragu. Hanya saling menyempurnakan, saling cinta dan kasih. Karena tidak ada yang sempurna, tak ada yang super... Sedangkan Superman, Spiderman pun ..... masih punya perasaan, dan membutuhkan cinta. That's real. "KARENA CINTA ADALAH RASA"

Pernahkah kau pikirkan aku
Pernahkah kau anggapku penting
Pernahkah kau tanyakan aku
Yang ku mau yang ku rasa yang ku inginkan

Kau mencariku aku ada
Kau ingin cinta ku berikan
Ku lakukan semua mau mu
Penuhi permintaanmu terus dan terus

Aku bukan wanita super
Aku ingin juga kau sayang
Aku ingin juga cinta mu lebih dan lebih

Aku bukan wanita super
Selalu saat kau butuh
Terus sempurna di depanmu terus dan terus
Jangankan aku takkan ada yang bisa

Pernahkah kau mencintaiku
Pernahkah kau menerima
Kelemahan yang aku punya
Karna slama ini untukmu ku begitu
(Nafa Urbach)

Friday, May 15, 2009

UANGMU............ UANGKU. UANGKU..... UANGKU.

Perkawinan adalah persatuan dua manusia yang berbeda, karena tumbuh dari latar belakang keluarga dan lingkungan yang berbeda. Mereka sedang tidak mencari jati diri lagi. Hanya perlu saling belajar lebih dewasa mencari jalan keluar untuk keinginan berdua........ selamanya.

Reality Show “Masihkah Kau Mencintaiku” di RCTI pkl. 22.15 WIB ini mengambil tema “Uangmu..... Uangku. Uangku.............. Uangku. Menarik sekali untuk disheringkan dalam blog saya.

Didampingi psikolog Ibu Wina dan Ibu Rea, serta presenter Helmi Yahya dan Dian Nitami. Dua keluarga dari sepasang suami istri Hendro & Dewi, selama 8 tahun menikah selalu ribut dan akan pecah. “Semua karena konflik ketidakpercayaan karena kurang transparan dalam keuangan” kata Hendro. “Tetapi saya merasa seperti pembantu, apa-apa yang mau dibeli harus dilaporkan. Beli cabe, garam, terasi, masak harus dicatat??!!!!”, bela Dewi.

Dewi berasal dari keluarga kaya. Ayahnya pengusaha sukses, tetapi sejak ayahnya meninggal 2 tahun yang lalu, perusahaannya mulai bangkrut dan tutup. Dewi kasihan melihat mamanya yang sepertinya tidak bisa hidup susah.

Masalahnya sudah diketahui, yaitu “UANG”. Hendro memberikan uang sebesar 25juta / bulan (waw... ini besar banget, kalau uang sebesar itu dikasih ke saya, saya sudah beli ini itu, bahkan bersenang-senang dengan keluarga kayaknya masih bisa nabung deh... hehehehe). Selama 2 tahun terakhir, percekcokan terjadi, uang selalu kurang, padahal Hendro melihat tidak ada tambahan di dalam rumah. Dewi juga tidak nabung. Hendro curiga istrinya selingkuh/ menyeleweng. Dituduh demikian, Dewi berang, marah dan menangis....

Akhirnya, Dewi mengaku.. selama ayahnya meninggal semenjak 2 tahun yang lalu, Dewi membantu maminya dalam segi keuangan. Tapi Dewi takut dan malu memberitahukan kepada Hendro. Ketika Helmi menanyakan kejujuran Hendro “Apakah ikhlas, kalau Dewi membantu keluarganya dan menggunakan uang itu untuk perawatan tubuh/ kepentingan pribadi??” “Saya ikhlas, bila Dewi jujur untuk membantu keluarga. Tapi, kalau selama ini perawatan tubuh, kog istri saya biasa-biasa saja, dari dulu sampai sekarang. Ga ada perubahan! Kalau perawatan, ada perubahan dong??!!” jawab Hendro. hahahahaha.... busyet, semua penonton menertawai Hendro, sedangkan Dewi berang... marah dan tersinggung, merasa diejek. “Saya memang begini saja dari dulu mas, tapi saya berusaha menyenangkan mas. Berusaha lebih baik mas. Anak saya sudah 2, apa saya udah ga cantik lagi?? Kamu tega banget!!!!!” teriak Dewi.

Apa karena itu kepolosan Hendro atau karena emosi sesaat atau apalah, suami selayaknya menghormati dan menghargai perasaan istri. Setiap kata-kata yang keluar, harus dipikir dulu, alias difilter, jangan sampai menyinggung perasaan pasangan” ucap Ibu Rea. Akhirnya Hendro minta maaf karena sudah menuduh Dewi selingkuh, juga menyinggung perasaan Dewi. Dewi juga minta maaf selama ini tidak jujur kalau uang itu dipakai untuk membantu keluarganya. Semua jelas. Akar permasalahan dan solusinya sudah ketahuan.

Pertanyaan terakhir: “Hendro, apakah kamu masih mencintai istri Anda dan berusaha kembali memperbaiki hubungan ini” tanya Helmi. Hendro jawab “IYA, saya masih mencintai istri saya” Mereka saling berpelukan...

Hikmah yang terpetik dari kisah ini: perlu kejujuran dan komunikasi dua arah untuk menyelesaikan masalah dalam keluarga. Saling menghormati dan menghargai pasangan, ketika pasangan melakukan sesuatu. Mungkin bisa salah, mungkin juga benar... tetapi semuanya bisa dikomunikasikan dengan baik. Manajemen Keuangan perlu untuk dibahas pada pasangan ketika akan menikah, sehingga saat menikah, masalah keuangan ini tidak menjadi bumerang dalam kehidupan bersama.

Pencarianku

Hasil

Powered By Blogger