Friday, May 22, 2009

VICTORIA DOMINI KE-4

Konser Victoria Domini (VD Choir & Orchestra) bertepatan dengan Ulang Tahun VD yang ke-4 di Gereja St. Theresia Jakarta penuh dengan tragedi. Tragedi apa nih maksudnya? Begini ceritanya...........

Manager VD “Emil Randa”: sehari sebelumnya ternyata masuk UGD. Pemain organ: H minus 7 harus keluar negeri karena tes pendidikan. Nelda yang ngurusin penari anak-anak sekaligus Alto, harus kasak kusuk kesana-sini karena harus cari kostum, buat undangan, dan persembahan. Sedangkan saya??? Ketika Gladi Bersih ga bisa datang, karena sakit perut (saya pikir ini hari pertama Datang Tamu), tapi ternyata tidak?? Seharusnya, saya yang harus menyiapkan partitur koor. Pemain Orkestra senior, banyak yang mengundurkan diri. Udah gitu, para penyanyi yang latihannya pasang surut (termasuk saya), karena urusan pribadi, pekerjaan, kuliah, dsb.

Nelda sampai ga bisa tidur ngerjain design undangan, sampai kelengkapan misa. Emil yang udah repot, masih aja mau direpotin oleh saya, karena harus antar-jemput temannya ini. Berhubung jarak rumah saya dan Emil berdekatan, yah jadinya bela-belain antar-jemput saya (padahal kalau Emil bisa bicara, gondok kali ya?? hehehehe..). Coba kalau saya bukan temannya, mungkin ga mau repot-repot kali ya??? Aduh, jadi ga enak nih... ngerepotin Emil. Apalagi, ketika tuh anak sakit, saya sama sekali ga tau/ alias ga diberitahu. Emil masuk UGD, hanya mengeluh ke Nelda. TANX BERAT Emil, udah jagain saya.

Esoknya ketemu Nelda, saya diomelin, karena ga tau si Emil sakit? “Lha??? Emang gw ga dikasihtau Nel”, jawabku heran, apalagi Nelda. Pukul 13.00, saya dan Mirah langsung beli AQUA 3 dus ke Hero Sarinah. Ya ampyuuuun, karena pasukan cowok belum ada yang datang, sedangkan segalanya harus dipersiapkan satu per satu, akhirnya saya, Mirah, dan Emil harus rela menjadi kuli panggul membawa 1 dus AQUA 330 ml karena Emil ga bisa bawa barang berat (baru sakit dan keseleo). Jarak antara Sarinah vs Gereja Theresia emang dekat, tapi??? bebannya berat banget ditambah panas matahari yang menyengat!!! Bayangkan saja, saya dan Mirah harus jadi cewek perkasa, bawa 1 dus AQUA yang beraaaat!!. Alhasil, jalan pake istirahat 2 kali ke Gereja Theresia. Hedwig dan Putri beli Dunkin Donuts dan bawa voucher yang saya kasih, lumayan... karena uang kas kita sangat-sangat menipis.

Tiba di Gereja, kepalaku langsung pusing dan lemas. Asli, saya ga bisa jalan kemana-mana. Istirahat, rebahin kaki en minum, juga Mirah. Nelda datang..... ngobrol bentar, langsung acara makeup deh...

Acara mulai. Biasanya saya pede dekat mikrofone, tapi kali ini saya kurang yakin. Teman-teman lain juga. Lagu pertama, lumayan. Lagu kedua mulai kurang..... Aaarggggghhh, satu, dua, tiga, lagu akhirnya ada yang sempurna ada yang cacat. “Aduh, mudah-mudahan umat tidak merasakan kekurangan kami”, bisik hatiku. Tapi, memang anak-anak VD kompak, jahil, narsis en gaul abis. Jalan terus!!! Pantang Mundur!!! ada saja masalah, mulai salah take, nyanyi kecepatan dan terlambat, mikrofone yang tiba-tiba mati di solis atau di koor, sampai salon/ speaker aktif yang kurang kencang. Hancur....... Hancur..... Hancur daaaaagh. Sampai lagu terakhir saja, masih ada kejadian aneh bin narsis! Karena mikrofone yang tiba-tiba mati di solis Stefanus dan Mirah, ehhhh... mereka naik ke altar trus nyanyi deh disana. Hahahahah, jenius bin pede banget yah?? Tapi ini membuat umat tepuk tangan meriah, malah dikira ini skenario kita or disengaja......hahahaha...

Selesai misa, kita ngumpul di Aula. Makan, minum, foto-foto, sampai dengar sambutan dan Romo, Johannes en Emil. Horeeee, kita dapat 1 juta rupiah, sumbangan dari Gereja Theresia. Tugas berikutnya sudah menyusul: tampil di Ulang Tahun Katedral Jakarta. Setelah sibuk di Aula, saya, Nelda, Philia, Winda en Hedwig yang kelaparan, makan di Pizza Sarinah. Kembali keributan dan kenarsisan dimulai. Kayaknya cuman meja kita yang ributnya setengah mati. Ada saja tema yang diangkat di meja itu. Trus disambung lagi sampai di rumah Nelda. Kita dianterin sama Andreas en Mas Adi (Tanx ya bro).

Saya sampai lupa keberadaan si Emil yang rela nungguin sampe lama. Untung dia sms, kalau ga... tau dehhhh, pulangnya gimana?? Sekali lagi, saya repotin si Emil!! Bela-belain jemput ke rumah Nelda, padahal dia udah nyampe rumah. Yah... sebagai tebusan rasa bersalah, si Nelda nyiapain makanan, buah en jus. Lha??? kenapa bukan saya??? Hehehehehe, secara... Nelda lumayan demen sama si Emil. Yaaa sebagai teman yang baik, saya coba dekatin mereka, kalau jodoh kan, saya turut berjasa dunk... suit suiiiiittttt. Sekarang pulang dulu ah... cape banget. Tiduurrrrr.

Selamat berjuang generasi VD berikutnya!!!! Tugas berikutnya sudah menyusul, Ulang Tahun Katedral Jakarta!!!

Monday, May 18, 2009

Ketuhanan Yang Ma[s]a Esa[?]


Keyakinan pada Tuhan yang Esa adalah fondasi mendasar bagi bangsa kita. Saking elementalnya, dicantumkanlah prinsip tersebut sebagai sila pertama dari Pancasila. Buah-buah pengamalan yang ditumbuhkan dari sila tersebut antara lain adalah kerukunan umat beragama, tepa salira, toleransi, serta konsep-konsep cantik lainnya. Dalam percakapan sehari-hari kita dapat ‘membauinya’ pada kalimat-kalimat klasik seperti: “jalannya lain-lain tapi toh tujuannya satu” atau “cuma caranya saja yang beda-beda tapi Tuhannya satu”, dst. Namun, sama seringnya pula kita menemukan aneka kontradiksi yang menemani konsep-konsep cantik dan kalimat-kalimat bijak tadi.

Baru-baru ini saya diberi kesempatan untuk menonton pra-rilis satu film indie berjudul “Cin[T]a”. Sebuah film dengan premis dan tema yang menarik; bercerita tentang Tuhan, cinta, dan perbedaan. Di film itu kita menemui dilema yang banyak dialami orang-orang: hubungan cinta beda agama. Dilema yang akhirnya berujung pada pilihan: pilih pacar atau Tuhan?

Entah berapa banyak sudah hati manusia yang nelangsa akibat dilema klise itu; saat benang kusut itu mulai teraduk: mencintai pacar… tidak mau berpisah… tidak mau mengkhianati Tuhan… tapi kenapa harus ada cinta… bukannya cinta juga diciptakan Tuhan… tapi agama bilang tidak boleh menomorduakan Tuhan… tapi kan, katanya cara saja yang beda-beda tapi Tuhannya satu… dan benang itu terus mengusut. Belum lagi Tuhan jarang berdiri sendiri, Ia membawa institusi agama, orang tua, keluarga besar, adat istiadat, bahkan aturan pemerintah Indonesia yang melarang pernikahan beda agama.
Itu baru persoalan asmara. Ketuhanan Yang Maha Esa pun masih harus menempuh berbagai tantangan ketika bersinggungan dengan isu politik, kekuasaan, uang, dan fanatisme. Seringnya, dalam naungan payung konsep mulia tentang keesaan Tuhan, manusia tetap harus memilih untuk mempertahankan perbedaan. Tak jarang sampai berdarah-darah. Kontradiksi yang sempurna digambarkan oleh sebuah dialog dalam film “Cin[T]a”, ketika salah satu tokoh utamanya berkata: “Tuhan memang satu, tapi tetap saja Tuhanku yang paling benar.”

Jika kita benar-benar jujur, hampir semua dari kita sama seperti tokoh film tadi; oke, di mulut kita setuju Tuhan itu satu, tapi nyatanya selalu ada Tuhan yang paling benar. Jadi, sebetulnya, Tuhan mana yang kita bicarakan? Jangan-jangan, selama ini ada dua Tuhan; yang Esa dan Tidak Esa. Jangan-jangan, selama ini kita keseleo lidah, menggunakan terminologi “Tuhan” padahal yang kita maksud adalah “agama”. Atau, jangan-jangan, Tuhan memang tidak Esa. Keesaan hanyalah ilusi yang kita ciptakan sebagai obat penawar dari perbedaan yang terkadang begitu menyakitkan dan merepotkan jika bergesek. Intinya, dari mana kita tahu secara langsung dan absolut bahwa Tuhan itu benar-benar Esa? Kata orang? Kata pemuka agama? Kata kitab? Kata pemerintah?
Tuhan yang malang, pikir saya. Ia begitu terdistorsi dan terasing, meski begitu banyak orang mengaku telah mengenal-Nya, bahkan secara kolektif menggunakan keberadaan-Nya sebagai dasar bernegara. Tidak heran kata “toleransi” begitu populer dalam konsep keagamaan kita, karena dengan kontradiksi yang kita pegang tentang Tuhan, hanya sampai toleransilah kita mampu berjalan. Dan kembali saya ingat perkataan Romo Mangun, bahwa seharusnya kita berlandaskan “apresiasi” beragama, bukan “toleransi”. Toleransi berarti ‘silakan berbeda selama tidak mengganggu saya’. Artinya, toleransi punya batas. Toleransi punya syarat. Dan karena itu jugalah ia cocok dengan lidah kita yang bercabang, yang sepakat dengan keesaan Tuhan tapi siap membacok teman jika berani macam-macam dengan Tuhan-“ku”.
Saya jadi tergelitik untuk bertanya: tidakkah lebih baik—dalam arti: lebih rileks dan realistis—jika kita menerima kenyataan bahwa Tuhan belum tentu Esa? Mengapa kita harus memaksakan diri dengan keesaan Tuhan jika pengalaman spiritual kita pribadi belum membuktikannya? Untuk apa jadi munafik, jika membedakan Tuhan dan agama saja kita masih tersandung-sandung; membedakan isi dan bungkus saja masih tertukar-tukar? Daripada menjadikannya sebagai dalil tak tergoyahkan, teori yang mati, tidakkah lebih baik—dalam arti: lebih adil dan sahih—jika keesaan Tuhan dijadikan sebuah pengalaman yang hidup? Biarlah mereka, yang memang sudah lahir-batin-luar-dalam mengalami keesaan Tuhan, yang kemudian berkata bahwa Tuhan itu ternyata satu adanya. Bagi mereka yang belum mengalami, biarlah Tuhan tidak perlu esa. Biarkan saja Tuhan berbeda-beda. Biarlah masih ada Tuhan-“ku” dan Tuhan-“mu”. Termasuk, biarkan juga mereka yang mengalami tidak adanya Tuhan. Bahkan Tuhan tidak perlu dipaksakan ada, bukan?

Seorang guru spiritual terkenal, Osho, berkata: ada perbedaan besar antara percaya dan tahu. Percaya senantiasa dibarengi oleh asumsi dan pengharapan, sementara tahu senantiasa dibarengi oleh pengalaman. Kita tak perlu percaya bahwa matahari bersinar, kita TAHU bahwa ada matahari di langit yang menyinari Bumi terus-menerus. Kita mengalaminya secara langsung. Jika kita berani kritis: seberapa banyak pengalaman langsung kita tentang Tuhan hingga kita berani mengatakan bahwa Ia cuma SATU? Bahwa Ia sama dan seragam bagi semua orang, layaknya matahari bagi Bumi? Percayakah kita bahwa Tuhan itu esa atau tahukah kita?

Tahun 1999, untuk pertama kalinya saya memberanikan diri untuk mempertanyakan ulang semua yang saya percayai tentang Tuhan, termasuk sejauh mana saya telah menyalahgunakan konsep iman selama ini. Karena, tanpa mengecilkan arti kata “iman” yang didefinisikan sebagai 'percaya sebelum melihat', mudah sekali kita berlindung di balik keimanan untuk mengklaim berbagai hal yang tak kita alami langsung. Hal-hal yang sebenarnya cuma asumsi berkarat dan berkerak tapi kita anggap sebagai kebenaran mutlak. Dan baru saat itulah, saat saya berani melonggarkan cengkeraman saya atas konsep kebenaran, untuk pertama kalinya pula secara tulus saya melihat perbedaan dan keberagaman sebagai sebuah perayaan.

Beranikah kita meninjau iman kita, asumsi kita, kepercayaan kita, keyakinan kita—dan menerimanya sebagai sebuah bentuk keterbatasan dan ‘kemalasan’ kita untuk mengenal-Nya langsung. Sudah berapa lamakah kita berpangku tangan dan membiarkan orang lain atau sebuah institusi merumuskan kebenaran dan Tuhan bagi kita? Mereka yang juga belum tentu mengalaminya langsung, melainkan mewarisi pengetahuan secara turun-temurun?

Pengetahuan adalah sesuatu yang mati, kata Osho lagi. Hanya pengalamanlah yang hidup. Dan saya teringat pertemuan saya dengan seorang bhikku, bernama Bhante Wongsin, di Lembang tahun 2005. Pada akhir pembicaraan kami, beliau berkata: “Jangan percaya semua omongan saya. Anda harus membuktikannya sendiri.” Saya tersentak waktu itu, dan kalimat beliau terus membekas hingga kini. Jangan percaya. Buktikan sendiri.

Beranikah kita untuk mencantumkan tanda tanya di ujung semua yang kita yakini dan percayai? Dan mencantumkan tanda titik hanya jika kita telah mengalaminya langsung, membuktikannya sendiri; saat perjalanan kita dari mempercayai akhirnya tiba di mengetahui.

KARENA CINTA ADALAH RASA

Pagi yang berat, ketika saya bangun dengan badan dan hati yang kurang bersemangat mungkin karena hari Senin atau kelelahan yah??? Ketika TV dinyalakan, didepan saya langsung terpampang tulisan “Di dalam hidup yang tidak kekal ini, tidak ada yang sempurna. Yang sempurna hanyalah CINTA”.

Ternyata, mengingatkan sejarah artis Sophan Sofyan yang meninggal setahun lalu. Kesetiaannya kepada pasangan, patut diacungin jempol. Di dunia keartisan dan hiruk pikuk metropolitan yang bertabur godaan dan nafsu, tetapi pria itu menjadi pria yang tangguh sebagai seorang suami dan ayah.

Saya sendiri, mengagumi pria ini. Sejak kecil. Wajahnya yang tegas, tampan dengan istri yang cantik (Widyawati). Oh iya, saya juga mengagumi pasangan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen. Tidak ada yang harus selalu super. Tidak ada ego dan keras hati. Mungkin itu yang membuat mereka bisa selalu bersama. Ari Sihasale (besar dan tumbuh di Papua) & Nia Zulkarnaen (besar dan tumbuh di Jakarta, janda pula)... tetapi semuanya begitu indah. Bahkan mereka berdua semakin maju setelah bekerja sama membentuk Rumah Produksi 'ALENIA' (gabungan dari nama Ale sebutan Ari Sihasale dan Nia) dan film teranyar pertama “DENIAS”.

Tidak ada kamu dan aku! Tidak ada kalah dan menang! Tidak ada ragu. Hanya saling menyempurnakan, saling cinta dan kasih. Karena tidak ada yang sempurna, tak ada yang super... Sedangkan Superman, Spiderman pun ..... masih punya perasaan, dan membutuhkan cinta. That's real. "KARENA CINTA ADALAH RASA"

Pernahkah kau pikirkan aku
Pernahkah kau anggapku penting
Pernahkah kau tanyakan aku
Yang ku mau yang ku rasa yang ku inginkan

Kau mencariku aku ada
Kau ingin cinta ku berikan
Ku lakukan semua mau mu
Penuhi permintaanmu terus dan terus

Aku bukan wanita super
Aku ingin juga kau sayang
Aku ingin juga cinta mu lebih dan lebih

Aku bukan wanita super
Selalu saat kau butuh
Terus sempurna di depanmu terus dan terus
Jangankan aku takkan ada yang bisa

Pernahkah kau mencintaiku
Pernahkah kau menerima
Kelemahan yang aku punya
Karna slama ini untukmu ku begitu
(Nafa Urbach)

Pencarianku

Hasil

Powered By Blogger