Saya terkesima membaca blog yang satu ini. Sederhana, lugas dan bebas. Tapi ada arti yang hendak dia sampaikan untuk Bun, pembaca, dan dirinya sendiri.
Tidak ada samudera
Tidak ada lautan
Pun danau atau kolam
Aku hanya butuh setengah gelas air putih
Dan itu kamu....
Beberapa waktu lalu saya sering bilang pada Bun kalau saya merasa kesulitan menulis tentangnya. Menjadikannya inspirasi seperti sebelumnya. Tapi barangkali tidak untuk kali ini. Semoga dia membaca tulisan saya.
Tidak ada samudera
Tidak ada lautan
Pun danau atau kolam
Aku hanya butuh setengah gelas air putih
Dan itu kamu....
Beberapa waktu lalu saya sering bilang pada Bun kalau saya merasa kesulitan menulis tentangnya. Menjadikannya inspirasi seperti sebelumnya. Tapi barangkali tidak untuk kali ini. Semoga dia membaca tulisan saya.
Saya sakit. Terdampar di rumah sakit beberapa hari dan akhirnya pulang kerumah. Saya tidak pernah menyangka musibah ini menimpa saya. Alhamdulillah, Tuhan memang jarang memberi saya sakit. Saya patut bersyukur untuk hal ini. Muda, sehat, memilih bahagia. Pun demikian musibah ini saya syukuri sebagai manusia yang menghamba.
Beberapa hari sebelum musibah yang membuat jari kaki saya patah, saya menelpon Bun—kekasih saya. Saya bilang bahwa saya punya rencana untuk pulang pada tanggal 9 April menjelang PEMILU. Namun betapa berat hati ini, saya amat rindu rumah. Saya pun rewel. Dan seperti biasa, kekasih saya itu hanya berujar ‘Sabar, Sayang..’
Sabar. Barangkali itu yang agaknya perlu ditekankan disini. Sabar adalah bahwa semua akan datang pada waktunya. Tidak perlu diburu-buru datangnya. Namun rupanya saya tidak sabar. Dan beberapa hari kemudian saya dijemput musibah itu. Untuk pertama kalinya (dan semoga tidak terulang lagi untuk sesuatu yang merepotkan banyak orang) saya terdampar di rumah sakit. Setelah mendapat perawatan saya diijinkan pulang ke rumah dengan jari kaki terbungkus perban.
Saya pulang. Untuk waktu yang amat lama. Sekitar 4 minggu. Saya bertemu keluarga, saya jadi pasien di rumah sendiri dengan ibu sebagai perawat. Ayah saya bertugas sebagai motivator. Adik saya menyegarkan rumah dengan humornya. Dan tentunya Bun selalu datang ke rumah dengan membawa senyum (juga es krim kesukaan saya).
‘Kamu pulang lebih awal..’ katanya.‘Iya.. Sebelum tanggal 9 April’ sambung saya.Sejak saya sakit, saya tahu betapa berartinya Bun buat saya, sama berartinya dengan keluarga dan sahabat saya. Bun tahu betul saya menderita kebosanan berkepanjangan berada di rumah tanpa kegiatan. Ya, untuk saya yang hampir tidak berhenti bergerak kecuali tidur malam, menjadi pengangguran di rumah bukanlah hal yang menyenangkan. Dan Bun selalu datang dengan membawa beberapa kegiatan ringan. Kami masih bisa makan es krim berdua, dia memotret saya, dan mengedit foto. Semuanya penuh canda tawa. Semuanya menyembuhkan.
Dan saya selalu tidak suka bila jam dinding sudah menunjuk pukul 22.00, karena Bun harus pulang. Betapa egoisnya saya. Ah, Bun.. Dia memang bukan samudera yang maha luas.. Samudera yang kamu kagumi, dan bisa menenggelamkan dirimu, yang sebenarnya tidak kamu butuhkan. Bun hanya setengah gelas air putih yang akan dibutuhkan semua orang, begitu sederhana. Untuk bersamanya, kamu tak perlu tenggelam dan mati muda tak berarti. Kamu hanya akan sedikit merasakan dehidrasi, hehehe.. I love you, Bun..
Pati, 13 April 2009, Kamar tidur, internet, tawa. By. Catastrova