Tuesday, February 17, 2009

MENJEMPUT IMPIAN

17 Februari 2009
Berhenti sejenak dari pertanyaan, himpitan dan kesedihan. Istilah "istirahat" yang dimaksud berhenti sejenak. Keputusan yang berat untuk memberi diri sejenak melihat mundur ke belakang dan merencanakan masa depan.

Berat. Sulit. Sedih. Kesal. Sebenarnya ingin menolak. Tapi penantian ini adalah yang terbaik. Tak mungkin hanya bermain di lapangan yang pemainnya sendiri tidak tahu akhir dari permainan itu. Kapan permainan itu selesai, apa rewardnya, atau sampai dimana dikatakan kalah dan menang???

Semoga dia bisa menjemput impian bersama. Menjemput impian yang direncanakan. Sebuah harapan. Cita-cita. Mimpi. Menghapus semua ketidakpastian dan putus asa. Berganti dengan niat tulus untuk bersama.

Dia pergi untuk kembali. Menjemput impian yang direncanakan bersama. Karena segala sesuatu pasti ada akhirnya. Ini belum akhir, tapi dia harus lebih berjuang lagi. Semoga pengorbanan ini membawa hasil yang membahagiakan. Semoga.
"..........Aku akan pergi untuk sementara
bukan untuk meninggalkanmu selamanya
ku pasti kan kembali pada dirimu..........
17 Maret 2009"

Monday, February 16, 2009

HATI ITU SEDERHANA

Terima kasih untuk semuanya. Diam ini mungkin lebih baik. Biar alam menyaksikan dan menyadari tiap hembusan nafas dan gerak ini. Mungkin hanya itu yang bisa dilakukan. Mencoba menghayati arti perjalanan panjang yang penuh liku. Tak semudah yang terbayangkan, tak seindah yang terlukiskan. Semakin kuat menghindarinya, tapi semakin rapuh dan tak berdaya. Semakin tegar melawan kesedihan itu, semakin hancur hati itu. Hati seorang manusia yang bukan terbuat dari batu karang yang kuat walapun diterpa ombak, bukan terbuat dari karet yang elastis yang ditarik tetap tidak putus.
Hanya seorang manusia yang ingin hidup damai. Bukan karena pilihan yang ini dan itu, bukan karena permintaan yang panjang dan rumit. Sederhana, hanya sedikit saja...... Andai keberadaan dan pengorbanan itu berakhir bahagia. Andai penantian itu tidak sia-sia. Andai ada waktu untuk menunggu. Andai pilihan itu bebas tak bersyarat. Kenyataannya............... semua hanya "andai".
Lalu, apa yang harus dilakukan? Ketika rasa sedih dan pengorbanan bercampur menjadi satu, siapakah yang harus dibela? Pendapat mana yang harus didengar dan dipilih? Kebahagiaan mereka atau hati itu sendiri??
Sederhana.... sungguh sangat sederhana. Hati itu hanya butuh cinta kasih. Yang bisa membuatnya tenang dan damai dalam menghadapi dunia yang tak pasti. Yang bisa membuatnya tersenyum dan tegar ketika duka menghampiri. Yang bisa membuatnya tulus mencintai tanpa syarat. Sekali lagi "tanpa syarat".
Lalu, bagaimana kalau hati itu tidak diperdulikan lagi? Bagaimana keadaannya? Adakah yang perduli dan mengorbankan hidupnya untuk menyelamatkan hati itu? Hati itu butuh kamu, hanya kamu. Hati itu butuh cinta mu. Tapi, bisakah kamu menjaga hati itu selamanya? Seumur hidupmu? Di tengah masalah dan tantangan kamu untuk bersama dengan hati itu??
Andai kamu bisa memeluk hati itu, dan tidak melepaskan dia terbang bebas. Karena ketika hati itu terbang bebas, dia pergi dan tak kembali lagi. Terluka dan berkorban untuk semuanya. Mungkin itu akan dilakukannya. Hanya untuk melihat kamu dan semua yang didekatnya bahagia. Sebenarnya, hati itu tak ingin kamu memberikan jawaban "kebebasan".
Sayang, hati itu sederhana....... sangat sederhana. Maafkan dia, kalau dia salah dan rapuh. Dua hati yang berbeda menjadi satu, memang membutuhkan segenap hati yang seluas samudra. Dua hati dengan cinta yang luar biasa, dua hati yang sederhana. Bisakah menghadapi semua cobaan dunia dan orang yang melahirkan hati itu ke dunia ini?? Perjuangan ini sangat panjang... bisakah melewati cobaan dari dalam diri sendiri, orang lain dan waktu???
Kembali hati ini yang menjawabnya. Hati yang tulus dan terbuka.........

Wednesday, February 4, 2009

Antara Dia dan DIA

Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berani memutuskan
dengan siapa aku akan menikah. Aku tidak banyak bertanya tentang calon
pasangan hidupku, aku jemput dia di tempat yang Allah suka, dan satu hal yang
pasti, aku tidak ikut mencampuri ataupun mengatur apa-apa yang menjadi
urusan Allah. Sehingga aku nikahi seseorang yang tegar dan tulus kepadaku.

Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berusaha sekuat
tenaga untuk tidak melihat segala kekurangan pasanganku. Dan sekuat
tenaga pula, aku mencoba membahagiakan dia.

Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka meneteslah air mataku saat
melihat segala kebaikan dan kelebihannya, yang rasanya sulit aku
tandingi.

Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka akupun berdoa,
Yaa Bapa, jadikan dia dan aku, orang tua yang baik bagi anak-anak, yang dapat menjadi contoh teladan kasih-Mu yang suci bersih. Amin.

Sobat, kalau Allah menjadi alasan paling utama untuk
menikah, maka seharusnya tidak ada lagi istilah, mencari yang cocok,
yang ideal, yang menggetarkan hati, yang menentramkan jiwa,
yang.....yang. ...yang.. ....dan 1000 "yang"...... lainnya.. ...Karena
semua itu baru akan muncul justru setelah melewati jenjang pernikahan.
Niatkan semua karena Allah dan harus yakin kepada Sang Maha Penentu
segalanya.

Sobat, ketika usiaku meninggalkan 25 tahun, aku sudah memiliki niat untuk
menikah, meskipun hanya sekedar niat, tanpa keilmuan yang cukup.
Karena itu, aku meminta jodoh kepada Allah dengan banyak kriteria. Lalu kemudian aku berkeputusan memberikan diriku.
Namun ternyata Allah-pun belum mengabulkan niatku.

Ketika usiaku 30 tahun, semua orang-orang yang ada di sekelilingku,
terutama orang tuaku, mulai bertanya pada diriku dan bertanya-tanya
pada diri mereka sendiri. Maukah aku segera menikah atau mampukah aku
menikah?
Dalam doaku, aku kurangi permintaanku tentang jodoh kepada Allah.
Tapi rupanya masih terlalu banyak syarat yang kuminta pada-Nya.
Dan Allah-pun belum mengabulkan niatku.

Ketika usiaku 35 tahun, aku bertekad, bagaimanapun caranya, aku harus
menikah. Saat itulah, aku menyadari, terlalu banyak yang aku minta
kepada Allah soal jodoh yang aku inginkan. Mulailah aku mengurangi
kriteria yang selama ini menghambat niatku untuk segera menikah,
dengan bercermin pada diriku sendiri.

Ketika aku minta yang cantik dan ganteng, aku berpikir sudah cantik dan tampankah aku?
Ketika aku minta yang cukup harta, aku berpikir sudah cukupkah
hartaku?
Ketika aku minta yang baik, aku berpikir sudah cukup baikkah diriku?
Bahkan ketika aku minta yang solehah, bergetar seluruh tubuhku sambil
berpikir keras di hadapan cermin, sudah solehkah aku?*

Ketika aku meminta sedikit..... Ya Allah, berikan aku jodoh yang sehat
jasmani dan rohani dan mau menerima aku apa adanya,
masih belum ada juga tanda-tanda Allah akan mengabulkan niatku.

Dan ketika aku meminta sedikit...sedikit. ..sedikit. ...lebih
sedikit.....
Ya Allah, siapapun saja dia, yang langsung menerima ajakanku untuk
menikah tanpa banyak bertanya, berarti dia jodohku. Dan Allahpun mulai
menujukkan tanda-tanda akan mengabulkan niatku untuk segera menikah.
Semua urusan begitu cepat dan mudah aku laksanakan.

Puji Tuhan Alleluya, ketika aku meminta sedikit, Allah memberi jauh lebih
banyak.
Aku yakin, sahabat-sahabat jauh
lebih mampu dan lebih baik daripada yang sudah aku jalani. Aku yakin,
sahabat-sahabat tidak perlu waktu 10 tahun untuk mengurangi kriteria
soal hidup.


HAPPY VALENTINE's DAY.....Freennzz....


(The Sinner's Diary)

Pencarianku

Hasil

Powered By Blogger