Kupanggil Namamu
Sambil menyeberangi sepi
kupanggili namamu, wanitaku.
Apakah kau tak mendengarku?
Malam yang berkeluh kesah
memeluk jiwaku yang payah
yang resah
karena memberontak terhadap rumah
memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala.
Sia-sia kucari pancaran sinar matamu.
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu
yang kini sudah kulupa.
Sia-sia.
Tak ada yang bisa kujangkau.
Sempurnalah kesepianku.
Angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.
Dan dua belas ekor serigala
muncul dari masa silam
merobek-robek hatiku yang celaka.
Berulang kali kupanggil namamu
Dimanakah engkau, wanitaku?
Apakah engkau juga menjadi masa silamku?
Kupanggili namamu.
Kupanggili namamu.
Karena engkau rumah di lembah.
Dan Tuhan?
Tuhan adalah seniman tak terduga
yang selalu sebagai sediakala
hanya memperdulikan hal-hal yang besar saja.
Seribu jari masa silam
menuding kepadaku.
Tidak.
Aku tak bisa kembali.
Sambil terus memanggili namamu
amarah pemberontakanku yang suci
bangkit dengan perkasa malam ini
dan menghamburkan diri ke cakrawala
yang sebagai gadis telanjang
membukakan diri padaku
Penuh. Dan perawan.
Keheningan sesudah itu
sebagai telaga besar yang beku
dan aku pun beku di tepinya.
Wajahku. Lihatlah, wajahku.
Terkaca di keheningan.
Berdarah dan luka-luka
dicakar masa silamku.
(dari Blues untuk Bonnie, 1971)
WS Rendra
No comments:
Post a Comment