Tubuh nan perkasa mulai rapuh,
mencerminkan jiwa yg lelah...
Tak sanggup menanggung beban akhirnya ia terkapar di ranjang dlm sakit kesenyapan
Hati ingin berteriak mengaduh namun bibir menahan dg senyuman.
Ia lewat di hadapanku, kemudian ia mengawasi pohon-pohon yang gundul seakan memohon kpd swargaloka agar menumbuhkan kembali daun-daun asa.
Aku bertanya,"Di mana kita sekarang, Saudari?
Jawabnya,"Kita berada di padang kekaguman!"
Aku menyahut,"Aku tidak mau di sini, ayo kembali! Tempat terpencil ini menakutkan dan pohon-pohon gundul itu membuat hatiku sedih."
Ia menjawab,"Sabarlah. Kekaguman merupakan awal keberanian."
Kemudian aku memandang sekeliling, tampak sosok anggun mendekatiku.
"Siapakah dia, Saudari?" tanyaku
"Ia adalah Anak Manusia, Dewa Pengilham Dukha," jawabnya.
"Ooh, Saudariku yang suci, mengapa Pengalaman Duka mendekatiku, sedangkan engkau ada di dekatku jua?!" sergahku.
Jawabnya,"Ia hendak memperlihatkan bumi dan kedukaannya padamu, krn manusia yang tak melihat Dukha, tak akan dpt merasakan Kebahagiaan."
Tanpa menyahut, bagai badai pilu Anak Manusia menutup mataku, dan ketika terbuka mataku, tiada lagi kulihat perawan jelitaku lagi. Dan meradanglah aku.......
Kulihat pemandangan yg serba menyedihkan:
Malaikat-malaikat Salib berperang melawan Setan-setan Kenikmatan. Dan di antara mereka tampak manusia berdiri ditarik oleh harapan ke satu arah dan ditarik pula oleh Keputusasaan ke arah lain.
Kulihat juga Cinta dan Benci menggeluti hati manusia. Cinta menyembunyikan kesalahan manusia, namun juga memabukkannya dengan anggur penyerahan dan penjilatan nafsu. Sedangkan Benci membujuknya, menyumbat telinganya dan membutakan matanya terhadap Kebenaran.
Aku melihat pemuda merajut rayu merebut hati perawan melalui kata-kata manis, dan bak kerbau dicocok hidung mengikutinya. Perasaan murni mereka sudah kabur, dan keilahian mereka lenyap.
Kulihat pula pendeta-pendeta yg licik penuh tipu daya. Nabi-nabi palsu bersekongkol hendak mengganggu Kebahagiaan manusia.
Kulihat dokter-dokter mempermainkan jiwa kecil manusia berhati polos dan jujur, memusnahkan tunas kasih Ilahi demi harga diri palsu manusia.
Kulihat Kepercayaan terkubur dalam buku-buku, dan Keraguan berdiri terpaku.
Kala aku memandang smua itu, aku smakin menangis sejadi-jadinya, meradang pilu,"Wahai Anak Manusia, apakah ini bumi yang sejati? Inikah Manusia?"
Dengan swara lembut n pedih ia menjawab,
"Yang kaulihat adalah Jalan Jiwa, yg diratakan dg kerikil-kerikil tajam dan dilapisi dg duri. Ini hanyalah bayangan Manusia. Inilah Malam Gelap. Tapi tunggu! Pagi akan segera terbit di sini!"
Ia kembali meletakkan tangan atas mataku menutupnya lalu membukanya kembali. Dan astaga kegelapan itu lenyap berganti cahaya yang melampaui terang kartika. Anak Manusia itu memegang tanganku, mengajakku berjalan menyusul Harapan yg berjalan terlebih dahulu.
No comments:
Post a Comment