"... Mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang." (Rectoverso)
Lelahmu...jadi lelahku juga
Bahagiamu...bahagiaku pasti
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati
Kali ini hampir habis dayaku
Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri
Karena kau tak lihat
Terkadang malaikat tak bersayap
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya
Hampamu tak kan hilang semalam
Oleh pacar impian, tetapi kesempatan
Untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Ku percaya diri, cintakulah yang sejati
Kau selalu meminta terus kutemani
Dan kau s'lalu bercanda andai wajahku diganti
Melarangku pergi karena tak sanggup sendiri
Namun tak kau lihat
Terkadang malaikat tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan (Dee)
Kamu pernah menjadi seorang malaikat tak bersayap untukku, dan kupikir biarkanlah sebagai malaikat yang selalu ada di sampingku. Karena aku hanya ingin melihat kebaikan yang ada padamu.
Walau dia lebih tinggi jabatannya, dia selalu ingin lebih baik lagi, tidak sombong dan pamer. Aku suka cowok pintar. Dia tidak suka tebar pesona, tidak banyak ngomong dan obral janji, dia lebih menunjukkan kemampuannya dengan sikap dan hasil. Aku tau ini semua, karena dia satu kantor dengan adikku yang PNS, tetapi mereka beda bagian kerja.
Namun tak kau lihat
Terkadang malaikat tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan (Dee)
Kamu pernah menjadi seorang malaikat tak bersayap untukku, dan kupikir biarkanlah sebagai malaikat yang selalu ada di sampingku. Karena aku hanya ingin melihat kebaikan yang ada padamu.
Aku paham, inilah takdir kita
berdua. Berbagi takdir bersamamu, aku tau kau pun merasakan hal yang sama. Tak
ada yang salah dengan cinta kita, cerita kita adalah sejarah.
Bukannya ingin melihat siapa yang
menang atau kalah, siapa yang akhirnya bahagia atau sedih. Biarkan kita jalani
tanpa menghakimi, biarkan kita jalani tanpa caci maki, biarkan kita jalani
tanpa sakit hati. Aku berharap kamu bisa bahagia dengan pilihanmu, dan aku pun
pantas bahagia walau tak bisa bersamamu.
Kalau kau tanya, apakah
perasaanku padamu? Apakah aku sakit hati? Apakah aku masih mencintaimu? Setelah
setahun ini, semua perasaan itu masih ada, dan kupikir biarkanlah semua menjadi
warna abadi, atau mungkin akan memudar seiring waktu, aku pun tak tau.
Walau susah payah membangun rasa
percaya lagi pada cinta, aku berusaha untuk mengerti waktu terus berjalan, tak
bisa menunggu dan diam. Kau tak perlu lagi kutunggu dan kuingat-ingat. Dari
semua mimpi dan nyata yang kutakutkan adalah perpisahan kita. Tapi, itu semua
sudah terjadi. Kurasa kau tahu betapa hancurnya aku saat itu…….
Sekarang, ada sosok biasa yang
mengisi hari-hariku. Awalnya aku tak yakin, hatiku marah, kesal, ga terima.
Bahkan aku kesal karena dia sabar, dan aku sudah menyampaikan dengan kiasan
halus menunjukkan aku ga suka, ga mau dan ga terima. Bersama dia, kepalaku
pusing, mual, muntah dan tidak selera makan. Hatiku menangis. Saat di mobil
bersamanya, aku bilang kalau aku ga suka dia, jangan bicara terlalu banyak
karena kepalaku pusing dan mau muntah. Si abang langsung dengan sabar bilang,
“adek jangan pusing, aku tidak memaksa.”
Melihat bagaimana bahagianya
orang tuaku, kalau sekarang aku didekati seorang pria batak, PNS, mapan, punya
jabatan, dewasa, sopan dan berani bertemu orang tuaku. Aku tak punya pilihan,
karena semua tipe pria baik ada padanya. Orang tuaku yang sakit dan sudah tua
pun bahagia dan langsung menari-nari, katanya ingin sekali bisa melaksanakan
pesta pernikahanku. Aku diam……….
Sebulan sosok biasa itu selalu
sabar bahkan sepertinya dia tau aku tak suka dikejar-kejar dan selalu ditanya
mengenai perasaanku, dia hanya bisa memperhatikanku sebagai seorang yang lebih
dewasa. Kami memang jauh, dia di Medan ,
tetapi dia selalu memberikan sikap yang dewasa dan mengerti kecuekan ku. Dia tak
punya cukup banyak kata, tapi dia menunjukkan keseriusannya dengan tindakan
yang membuatku mulai menerima dia.
Walau dia lebih tinggi jabatannya, dia selalu ingin lebih baik lagi, tidak sombong dan pamer. Aku suka cowok pintar. Dia tidak suka tebar pesona, tidak banyak ngomong dan obral janji, dia lebih menunjukkan kemampuannya dengan sikap dan hasil. Aku tau ini semua, karena dia satu kantor dengan adikku yang PNS, tetapi mereka beda bagian kerja.
Bahkan, karena saat itu aku tidak
terlalu ingin berkenalan dengan dia, teman-teman sekantornya sampai rela
menjemputku dan menemani kami makan agar aku tidak malas. Yah, aku berkenalan dengannya saat aku berlibur ke Medan. Bertemu dengannya bukan hal yang direncanakan, tak ada tujuan keluarga untuk mempertemukan, kami bahkan tidak mengenal dia. Adikku yang sekantor dengannya pun tak pernah bicara dan kenal dengannya. Karena dia sibuk dan jarang di kantor, kalau pun di kantor dia sibuk dengan pekerjaannya. Atasannya pun sampai
merekemondesikan dia, dan menyampaikan kalau Abang adalah sosok biasa yang
punya kebaikan dan kemampuan luar biasa. Semua teman, atasan, saudara,
mengatakan dia adalah laki-laki yang baik.
Aku?? Seperti biasa, hanya bisa
diam dan tersenyum, tak banyak bicara, malah kepalaku makin pusing. Kupikir si
abang tahu, aku tidak suka padanya….
Sebulan…, jarak jauh, dan kami
mulai dekat, mulai bisa tertawa. Setelah aku nyaman, ada step lagi yang harus kusiapkan:
aku harus siap menikah, siap kembali ke rumahnya di Medan . Tapi sebelum itu, aku juga harus siap
menyampaikan semua masa laluku. Yang bisa saja dia tanyakan kapan saja.
Sekarang, aku menjalani hubungan
yang serius, bukan hanya untuk pacaran, tetapi untuk menikah dan membahagiakan
orang tuaku. Sudah tak saatnya bermain dengan perasaanku, tetapi belajar
realistis, kalau hidup terus berjalan tanpa bisa mengerti perasaanku atau
harapanku.
Bersama dia, aku mulai bisa
tersenyum, aku bahagia. Entahlah dengan semua rencana yang sudah dia siapkan
untukku. Tak muluk-muluk, aku juga tak sempurna, jadi tak perlu juga aku
menuntutnya sempurna seperti harapanku. Semua kita lihat saja, entah apa yang
terjadi ke depannya, dia kah pelabuhan terakhir itu? Aku tak tau, tak berani
berspekulasi, tak berani berharap tinggi, hanya berserah dan menjalaninya
dengan lebih baik lagi. Kalau Tuhan merestui, mungkin rencana pernikahan itu
akan terjadi dalam waktu dekat ini. Atau kalau tidak jadi, itu pun juga yang
terbaik. Aku menyiapkan hatiku untuk menerima kedatangannya September ini dan
siap-siap mendengar hal serius yang akan dia sampaikan. Hal ini sudah dia
sampaikan, agar aku bersiap-siap.
Tuhan... tetaplah bersamaku
mengambil keputusan. Tuhan... tetaplah bersamaku menyampaikan dan menjawab semua
tentang aku, perasaanku dan harapanku. Tuhan... apapun yang terjadi, aku berserah
padaMu dan percaya campur tanganMu.